1. Gradasi Materi pembelajaran bahasa
Istilah gradasi isi pembelajaran menurut Richards dan Platt sebagaimana yang dikutip Budinuryanta adalah the arrangement of the content of language course or a textbook so that it is presented in a helpful way, yaitu penataan isi pembelajaran bahasa atau isi buku ajar bahasa sehingga tersaji secara berdaya guna.
Menurut Mackey sebagaimana yang dikutip Mulyanto Sumardi, mengemukakan bahwa Prinsip penting dalam pembelajaran adalah masalah pentahapan. Bahan yang disajikan kepada siswa harus sesuai dengan kemampuan siswa pada suatu tahapan pembelajaran tertentu. Karena materi yang telah diseleksi tidak mungkin diajarkan sekaligus. Comenius (dalam Mulyanto Sumardi) berpendapat bahwa dalam gradasi dasarnya harus diletakkan secara baik dengan penyajian dan contoh-contoh yang baik pula. Seperti dijelaskan dalam prinsip pembelajaran bahasa bahwa urutan pentahapan harus direncankan.
a. Faktor Gradasi
Menurut Theo Van Els, etc seperti halnya seleksi isi pembelajaran yang didasarkan pada faktor tujuan, tingkat, dan waktu pembelajaran, demikianpun gradasi isi pembelajaran
1) faktor tujuan
Tujuan pembelajaran merupakan faktor yang bukan saja perlu dipertimbangkan dalam gradasi isi pembelajaran , melainkan faktor yang wajib diperhitungkan dalam gradasi isi pembelajaran. Hal itu berarti bahwa gradasi isi pembelajaran harus dilakukan berdasarkan tujuan pembelajaran. Bagaimanapun, penatatingkatan isi pembelajaran diabdikan bagi tercapainya tujuan pembelajaran. Pembelajaran bahasa dengan tujuan khusus oral (misal: wicara, atau menyimak), akan berbeda penatatingkatan isi pembelajarannya dengan pembelajaran bahasa dengan tujuan khusus literal (misal: membaca, atau menulis), ataupun pembelajaran dengan tujuan khusus reseptif (misal: menyimak, membaca) akan berbeda penatatingkatan isi pembelejarannya dengan tujuan khusus produktif (misal: wicara, menulis). Walaupun dimungkinkan bahwa di antara tujuan pembelajaran khusus tersebut, terjadi kesamaan tata tingkat pada beberapa isi pembelajaran.
2) faktor tingkat
Demikianpun, tingkat kecakapan perlu dipertimbangkan dalam gradasi isi pembelajaran. Pembelajaran pada tingkat pemula memerlukan penatatingkatan isi pembelajaran yang berlainan dengan pembelajaran pada tingkat lanjut. Dengan kata lain, pengembangan bahan ajar bahasa harus mengetahui atau memastikan lebih dahulu untuk tingkat manakah bahan ajar itu disusun. Gradasi isi pembelajaran bahasa untuk jenjang sekolah dasar semestinya tidak sama dengan yang diperuntukkan pada jenjang sekolah lanjutan, dan atau sekolah menengah. Gradasi isi pembelajaran bahasa tingkat dasar (elementary) tentu berbeda dengan tingkat lanjut (advanced ).
3) faktor waktu
Alokasi waktu dan persebaran waktu dalam keseluruhan kurikulum juga ikut menentukan gradasi isi pembelajaran. Pertama alokasi waktu akan berpengaruh langsung pada seleksi isi pembelajaran, khususnya segi kuatitas. Pembelajaran bahasa yang dirancang untuk waktu tiga tahun dengan alokasi waktu tiga jam per minggu pasti memungkinkan pemuatan isi pembelajaran yang lebih banyak daripada yang dirancang untuk waktu dua tahun dengan alokasi waktu dua jam per minggu. Tentu saja, jumlah isi pembelajaran ini akhirnya berpengaruh pada gradasinya.
Sedangkan David Nunan mengajukan faktor gradasi isi pembelajaran atas faktor masukan (input factors), pembelajar (learners factors), dan aktivitas (activity factors)
1) faktor masukan (input factors)
Menurut Nunan sebagaimana yang dikutip Budinuryanta bahwa gradasi pembelajaran harus mempertimbangkan faktor masukan, yaitu yang berkaitan dengan teks sebagai isi pembelajarannya. Tentang hal ini, ada beberepa segi yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan bahan ajar bahasa. Pertama adalah kompleksitas teks. Teks yang memuat kalimat-kalimat sederhana secara umum akan lebih mudah daripada teks yang memuat kalimat-kalimat rumit. Kalimat-kalimat tunggal, misalnya, lebih mudah daripada kalimat-kalimat majemuk.. Demikianpun, teks yang mengeksplisitkan hubungan antarteks relatif lebih mudah dan daripada yang mengimplisitkan hubungan antarteks.
Kedua, kompleksitas teks sebagai isi pembelajaraan dapat juga disebabkan oleh jenis teks. Teks deskripsi berbeda tingkat kesulitannya dengan teks argumentasi, narasi, ataupun eksposisi. Teks yang menyajikan opini atau pendapat dan sikap seperti halnya argumentasi lebih sulit dibandingkan teks yang sekadar menyajikan fakta dan data seperti halnya deskripsi dan eksposisi. Narasi yang menyajikan fakta dengan bumbu fiksi dengan demikian juga lebih sulit daripada eksposisi dan deskripsi. Belum lagi jika dipertimbangkan dari segi lisan (oral), dan tulis (literal), ataupun asli, dan saduran.
2) faktor pembelajar (learners factors)
Pertimbangan penatatingkatan isi pembelajaran harus juga didasarkan pada faktor pembelajar Termasuk dalam faktor ini adalah pengetahuan dasar (background knowlegde) atau skemata yang dimiliki pembelajar.
Dapat dipahami bahwa penatatingkatan isi pembelajaran yang berdasarkan skemata yang dimiliki siswa menuju ke yang belum dimiliki siswa akan memudahkan pemahaman daripada sebaliknya. Setidak-tidaknya dapat diharapkan bahwa kesulitan pemahaman isi pembelajaran yang didasarkan pada skemata pembelajar lebih kecil dibandingkan yang tidak didasarkan pada skemata pembelajar.
Brindley dalam Nunan sebagaimana yang dikutip Budinuryanta mengemukakan selain pengetahuan dasar atau skemata yang dimiliki pembelajar, faktor pembelajar mencakup juga kepercayaan diri (confidence), motivasi (motivation), pengalaman pembelajaran sebelumnya (prior learning experience), kepesatan pembelajaran (learning pace), kecakapan terpelajari (observed ability in language skills), kesadaran kultural (cultural knowledge/awarenes), dan pengetahuan kebahasaan (linguistic knowledge).
3) faktor aktivitas (activity factors)
Faktor lain dalam gradasi isi pembelajaran bahasa adalah aktivitas pembelajaran. Menurut Nunan, akhir-akhir ini telah terjadi kecenderungan untuk mengontrol kesulitan (isi pembelajaran) bukan dengan penyederhanaan masukan, malainkan dengan pemvariasian kesulitan aktivitas pembelajaran.
Kompleksitas kegiatan pembelajar oleh Brindley ditengarai berdasarkan faktor relevansi, kekompleksan, jumlah konteks yang tersedia sebelumnya, keterprosesan bahasa, jumlah bantuan yang tersedia bagi pembelajar, tingkat ketepatan gramatikal/kesesuaian konstekstual, dan ketersediaan waktu. Apakah isi pembelajaran itu bermakna dan berkesan bagi pembelajar; berapa langkah kegitan yang terkandung di dalamnya; berapa banyak pengetahuan dunia yang mendasarinya; berapa lama waktu yang dimiliki pembelajar untuk menyelesaikan isi pembelajaran? Itu semua baru sebagian pertanyaan yang jawabannya akan menentukan kompleksitas aktivitas pembelajar
Candlin dan Nunan sebagaimana yang dikutip Budinuryanta menyarankan bahwa aktivitas pembelajaran dapat ditatatingkatkan dengan mengacu pada kecenderungan kognitif secara umum. Dengan mengadaptasi pandangan Bruner, aktivitas tersebut terdiri atas (1)pemusatan perhatian dan pengenalan (attending and recognizing), (2)pemahaman (making sense), (3)penguasaan informasi yang tersaji (going beyond the information given), dan (4)pentransferan dan perampatan (transferring and generalising).
b. Jenis Gradasi
Pengembangan bahan ajar bahasa menurut Theo Van Els, etc akan berhadapan dengan pilihan gradasi yang pada dasarnya antara dua jenis gradasi, yaitu gradasi lurus (linear gradation), dan gradasi putar (cyclic gradation). Gradasi lurus sering juga disebut sebagai gradasi suksesif (successive gradation) dan gradasi putar disebut juga sebagai gradasi spiral (spiral gradation) atau gradasi konsentris (concentric gradation) Di samping itu, berdasarkan kategori kebahasaan gradari isi pembelajaran dapat juga dibedakan atas gradasi gramatis (grammatical gradation), gradasi situasional (situational gradation), dan gradasi fungsional-nasional (functional-notional gradation). dan berikut penjelasannya:
1) Gradasi lurus
Gradasi lurus merupakan jenis penatatingkatan isi pembelajaran yang paling awal digunakan sebelum dikenal adanya gradasi putar. Gradasi ini menatatingkatkan isi pembelajaran secara lurus satu demi satu. Artinya setiap pokok pembelajaran disajikan secara detail dengan tujuan pencapaian secara tuntas atas pokok pembelajaran tersebut. Sebelum pokok pembelajaran itu dikuasai secara tuntas oleh pembelajar, pembelajaran tidak akan berlanjut ke pokok pembelajaran berikutnya. Pada gradasi lurus (penuh), penyajian secara intensif mendalam dan detail terinci perlu dilakukan karena gradasi ini menolak adanya pengulangan. Jadi setiap bagian isi pembelajaran hanya tersaji satu kali. Andaikata ada bagian yang belum terkuasai, maka pengulangan dilakukan secara sekilas dalam konteks yang sama persis.
Gradasi lurus, dengan demikian, memiliki sejumlah kelemahan. Pada tingkat permulaan kemajuan belajar akan sangat lambat karena setiap pokok pembelajaran disajikan secara mendasar. Hal itu mengakibatkan pembelajaran memerlukan waktu yang relatif banyak. Kedua hal itu dapat menimbulkan pengaruh negatif pada motivasi pembelajar, bahkan dapat terjadi kepercayaan diri pembelajar juga rendah, atau menimbulkan keraguan atas relevansi yang dipelajarinya bagi dirinya. Dalam paduan dengan gradasi gramatis, misalnya, gradasi lurus ini akan berlama-lama pada pembelajaran gramatika tertentu, dan tidak kunjung tiba pada pembelajaran komunikatifnya. Akibatnya pembelajar jenuh, bosan, dan tidak jarang patah semangat.
2) Gradasi putar
Berbeda dengan gradasi lurus, gradasi putar menatatingkatkan isi pembelajaran dengan pengarahan pada pemahaman bertahap dengan kembali ke isi pembelajaran itu pada interval yang berbeda dalam alur pembelajaran tersebut. Dalam gradasi putar isi pembelajaran tidak disajikan dan dibahas secara mendalam seperti halnya dalam gradasi lurus, tetapi hanya aspek-aspek penting yang disajikannya. Tanpa harus menunggu penguasaan tuntas atas isi pembelajaran yang tersajikan, proses pembelajaran dapat berlanjut pada penyajian isi pembelajaran berikutnya. Pada pembelajaran yang baru itu, isi pembelajaran yang lama diulang, dan diintegrasikan.
Penatatingkatan yang demikian menurut Corder sebagaimana yang dikutip Budinuryanta sesuai dengan hakikat struktur bahasa yang kait-mengait tak terpisahkan antara unsur yang satu dengan yang lain. Di samping itu, menurut Fuad Abduk Hamied gradasi putar mirip dengan proses alamiah pembelajaran bahasa yang tidak berjalan secara linear tetapi secara spiral. Oleh karena itu, pengembangan bahan ajar dianjurkan menggunakan gradasi putar ini.
Keunggulan gradasi putar, di samping kesesuaiannya dengan hakihat bahasa dan proses alamiah pembelajaran bahasa, adalah kemajuan pada tahap awal akan relatif cepat. Tentu saja, hal itu akan mengakibatkan pengehematan waktu, dan peningkatan motivasi pembelajar (setidak-tidaknya pengonstanan motivasi pembelajar). Keunggulan lain, gradasi ini memungkinkan pengulangan atas isi pembelajaran dalam konteks yang berbeda, di samping memeiliki keleluasaan dalam pembedaan isi pembelajaran bahasa reseptif dan produktif.
Gradasi berdasarkan kategori kebahasaan :
1) Gradasi gramatis
Secara tradisional, pada umumnya diasumsikan bahwa proses pembelajaran bahasa dapat dikembangkan dengan baik melalui penatatingkatan isi pembelajaran yang berdasarkan karakteristik struktural. Hal itu didasarkan pada pandangan bahwa penguasaan yang cukup tentang sistem kaidah morfo-sintaktik bahasa merupakan prasyarat untuk komunikasi yang efektif. Itulah dasar penatatingkatan isi pembelajaran dalam gradasi gramatis.
Dalam gradasi gramatis, dengan demikian, isi pembelajaran ditatatingkatkan berdasarkan pemusatan pada satu atau beberapa struktur morfologi atau sintaktik. Artinya, isi pembelajaran disajikan kepada pembelajar berdasarkan aspek gramatikal tertentu (misal: imbuhan ber-), kaidah morfo-sintaktik disajikan lebih dahulu, barulah kemudian diikuti oleh kaidah komunikatifnya.
Keberatan penggunaan gradasi ini adalah karena penekanan pada penguasaan sistem kaidah morfo-sintaktik, gradasi ini melupakan bahwa penguasaan bentuk-bentuk kebahasaan hanyalah sebagai alat. Tujuan pembelajaran bahasa untuk berkomunikasi akhirnya diabaikan. Padahal untuk komunikasi verbal diperlukan lebih dari sekedar penguasaan kaidah morfosintaktik. Keberatan lain adalah kaidah-kaidah gramatis yang disajikan miskin unsur leksikal. Akibatnya pembelajar menguasai sistem kaidah bahasa yang dipelajari, tetapi tidak mempunyai cukup kosa kata yang diperlukan dalam situasi komunikasi yang dihadapinya.
Keberatan-keberatan tersebut dapat diperingan dalam gradasi gramatis jika pengembang bahan ajar memasukkan juga kaidah penggunaan bahasa. Dengan demikian pembelajaran bahasa bukan hanya terpusat pada pengembangan kompetensi linguistik, melainkan juga terpusat pada pengembangan kompetensi komunikatif. Selain itu, setiap penyajian fokus struktur tertentu diikuti dengan pelatihan yang berkonteks komunikatif yang realistis. Kemiskinan kosa kata dalam gradasi ini, dapat diatasi jika sejak pemilihan isi pembelajaran pengembang bahan ajar bahasa telah memasukkan juga kosa kata yang tertampil sesuai dengan struktur dan penggunaan struktur yang dirancangnya.
2) Gradasi situasional
Pembelajar yang belajar dalam pembelajaran yang isi pembelajarannya ditatatingkatkan secara gramatis tidak mampu menerapkan kaidah yang dipelajarinya dalam situasi komunikasi yang sesungguhnya. Itulah yang mendorong munculnya gradasi situasional. Situasi tempat siswa dapat menggunakan bahasa merupakan pertimbangan penting dalam gradasi situasional. Situasi komunikasi adalah lingkungan fisik tempat bahasa itu digunakan. Oleh karena itu, dalam gradasi situasional isi pembelajaran ditatatingkatkan berdasarkan lingkungan tersebut.
Asumsi gradasi situasional adalah lingkungan fisik penggunaan bahasa menentukan isi pembelajaran bahasa yang akan diajarkan. Sebagaimana telah dipahami bahwa tuturan ditentukan oleh sejumlah faktor yang melatarinya, salah satunya adalah lingkungan fisik. Faktor lain adalah peranan sosial dan pskologis para pelibat pertuturan, di samping faktor tujuan yang hendak dicapai oleh penggunaan tuturan tersebut. Oleh karena itu, isi pembelajaran ditatatingkatkan berdasarkan faktor tempat, pelibat, tujuan, dan saat atau waktu pertuturan. Semua itulah yang disebut sebagai konteks pertuturan.
Keunggulan gradasi ini jelas bahwa isi pembelajaran bahasa sesuai dengan konteks penggunaan bahasa tersebut, sehingga pembelajar akan langsung dapat menerapkan atau menggunakan kecakapan yang dipelajari sesuai situasi yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena yang dipelajari berguna dalam kehidupannya. Pada gilirannya, yang demikian itu akan dapat meningkatkan motivasi pembelajar. Kelemahan gradasi situasional terletak pada penekanan yang berlebihan antara isi pembelajaran dengan lingkungan fisik tempat bahasa digunakan. Hal itu akan mengakibatkan pemaksaan isi pembelajaran yang secara kebahasaan belum tentu sesuai dengan situasi, atau sebaliknya. Akhirnya, pembelajaran yang seharusnya natural tercipta oleh gradasi situasional ini, menjadi artifisial juga.
3) Gradasi Nasional-fungsional
Dalam perkembangan berikutnya muncul gradasi nasional-fungsional. Gradasi ini menatatingkatkan isi pembelajaran dengan memadukan tiga kategori nasional-fungsional yang terdiri atas (1)kategori semantico-grammatikal, yaitu kategori yang berkaitan dengan persepsi kita atas kejadian, proses, keadaan, dan abstraksi, (2)kategori modal meaning, yaitu kategori yang berkaitan dengan cara penutur bahasa mengekspresikan sikpnya terhadap yang dikatakannya atau yang dituliskannya, serta (3)kategori communicative function, yaitu kategori yang digunakan untuk menunjukkan yang dilakukan melalui bahasa sebagai lawan yang dilaporkan melalui bahasa
Oleh karena itu, dalam gradasi ini isi pembelajaran bahasa tetap mencakup kaidah-kaidah gramatis sebagaimana ditatatingkatkan oleh gradasi gramatis. Kelebihan gradasi ini dibandingkan dengan gradasi gramatis adalah kaidah gramatis langsung dipadukan dengan penggunaannya. Wilkins menyarankan untuk menatatingkatkan isi pembelajaran dalam beberapa putaran. Putaran pertama berisi realisasi kategori nasional-fungsional yang paling sederhana dan produktif. Dalam putaran kedua, bahan tersebut diulang lagi, tetapi isi pembelajaran secara struktural lebih rumit lagi. Dengan demikian dalam gradasi ini tetap bergradasi gramatis tetapi ditata secara national-fungsional.
Atas dasar karakteristik yang demikian itu, gradasi notional-fungsional dapat dikatakan sebagai gradasi yang minim kelemahan tetapi kaya akan keunggulan. Teristimewa manakala, gradasi ini dikaitkan dengan tujuan pembelajaran komunikatif yang di dalamnya mencakup kompetensi gramatikal maupun kompetensi pragmatikal. Di bandingkan dengan gradasi situasional, gradasi ini menjaga keseimbangan antara faktor situasi dengan kaidah gramatis. Artinya gradasi national-fungsional tidak memberikan penekanan berlebihan pada situasi yang justru dapat menyulitkan penataannya sebagaimana hal itu terjadi pada gradasi situasional.
c. Kriteria Gradasi
Kriteria gradasi adalah rambu-rambu yang digunakan untuk mengkaji keoptimalan gradasi isi pembelajaran bahasa yang disusun berdasar faktor atau jenis gradasi tertentu. Kriteria tersebut dapat didasarkan pada deskripsi bahasa sasaran, analisis kontrastif bahasa yang telah dikuasai dan bahasa yang sedang dipelajari, dan struktur proses pembelajaran.
Berdasarkan deskripsi bahasa sasaran, isi pembelajaran bahasa dapat diteropong pada kesederhanan atau kerumitan struktur bahasa tersebut. Oleh karena itu, isi pembelajaran dapat ditatatingkatkan berdasarkan urutan dari yang sederhana ke yang rumit. Mengapa demikian? Kelazimannya struktur rumit identik dengan kesulitan pembelajarannya, dan struktur yang sederhana identik dengan kemudahan pembelajarannya. Walaupun sesungguhnya, secara teoretis kerumitan atau kesederhanaan struktur itu masih diperdebatkan.
Kriteria lain yang ditarik dari deskripsi bahasa sasaran adalah frekuensi keterjadian, dan bobot fungsional. Frekuensi keterjadian dan bobot fungsional adalah produktivitas struktur tertentu, penggunaannya dalam membentuk ragam kalimat, dan fungsinya sebagai basis bagi struktur lainnya. Gradasi isi pembelajaran bahasa dapat juga dikaji dari dua hal tersebut. Apakah tertata atas struktur yang memiliki frekuensi keterjadian tinggi dan bobot fungsional tinggi, atau tidak.
Analisis kontrastif atas bahasa yang telah terkuasai dengan bahasa yang sedang dipelajari dapat juga digunakan sebagai kriteria peneropongan gradasi isi pembelajaran bahasa. Asumsinya unsur yang sama (bac:a: isomorfik) akan lebih sederhana dan lebih mudah bagi pembelajar, sedangkan unsur yang beda akan lebih rumit dan sulit bagi pembelajar. Oleh karena itu apakah penatatingkatan isi pembelajaran bahasa bermula dari isomorfik atau bukan, jika gradasi ditata berdasar tingkat kesulitannya. Meskipun, penelitian Politzer menyimpulkan bahwa gradasi berdasar analisis kontrastif dengan pola beda-sama lebih menunjukkan hasil belajar yang lebih baik ketimbang pola sama-beda. Jadi penatatingkatan atas pola sama-beda tidak dapat dipastikan memberikan gradasi isi pembelajaran bahasa yang optimal.
Alternatif lain dalam penggunaan kriteria gradasi ialah berdasarkan struktur proses pembelajaran. Hal ini sebagaimana diintroduksi Candlin dan Nunan yang mengadaptasi model Bruner seperti telah diketengahkan di muka. Kriteria ini dapat diperluas pada urutan proses pemerolehan bahasa sebagai para penutur asli bahasa itu memperolehnya. Walaupun harus diakui penelitian tentang kedua hal tersebut –proses pembelajaran dan urutan pemerolehan bahasa- masih sangat terbatas sehingga informasi tentang hal itupun juga belum dapat dianggap memadai dan mencukupi. Menurut penelitian Knapp dalam Hamied pola urutan itu sangat rumit, tidak ada urutan yang menjamin bahwa semua aspek struktur klausa dipelajari secara relatif berurut. Suatu urutan yang terbukti efektik pada pembelajaran aspek tertentu, ternyata berpengaruh negatif terhadap pembelajaran aspek lain. Hasil lain penelitian Knapp (1)aspek yang disuguhkan di awal pada umumnya dikuasi lebih baik daripada aspek yang disajikan di akhir, dan yang disuguhkan di tengah terbukti paling tidak efektif, dan (2)struktur yang kontras terbukti lebih sukar daripada struktur paralel.
Mackey mengemukakan dua aspek pokok dalam pengurutan, yaitu pengelompokan (grouping) dan pengurutan (gradation). Pengelompokan harus didasarkan pada prinsip-prinsip keseragaman, kekontrasan, dan kepararelan. Sedangkan pengurutan harus didasarkan pada prinsip psikologi belajar, yaitu Biasanya dari yang mudah ke yang sulit, dari yang sederhana ke yang rumit (kompleks atau sophisticated), dari yang umum ke yang khusus dari yang ringkas ke yang panjang, dari bentuk yang analogous ke bentuk anomalous, dan dari yang paling berguna bagi siswa ke yang kurang berguna.
2. Gradasi Materi pembelajaran bahasa Arab
Menurut Ibrahim Abdul ’Alim dan Badri kamal Ibrahim sebagaimana yang dikutip Radliyah Zaenuddin dkk, mengemukakan bahwa salah satu prinsip pokok pengajaran bahasa Arab adalah Gradasi yaitu tingkatan yang harus dilalui dalam proses pembelajaran bahasa Arab. Gradasi mengenal lima tahapan, yakni (a) dari tahap yang mudah kepada yang sulit, (b) dari tahap yang sederhana kepada yang kompleks, (c) dari tahap yang jelas kepada yang samar, (d) dari tahap yang kongkrit kepada yang abstrak, dan (e) dari tahap yang sering dipergunakan kepada yang jarang dipergunakan.
Dalam mengajarkan materi bahasa Arab pertama, mulailah dengan kalimat-kalimat, bukan dengan kata-kata, dan susunlah urutan materi atas dasar pola-pola kalimat. Apabila hendak mengajarkan kata-kata baru dalam bahasa Arab, maka hendaklah kata-kata itu dipergunakan dalam kalimat, supaya pelajar memakai kata-kata itu pada tempatnya. Mengajarkan kata-kata saja biasanya akan mendatangkan kekhilafan tentang pemakaian kata-kata tersebut dalam kalimat. Kedua, perkenalkanlah unsur-unsur bagian kalimat, misalnya janis kata mubtada’, khabar, fa’il dan sebagainya dalam hubungannya dalam kalimat ini tidak bebas, dan tidak diajarkan dengan penuh jika tidak diletakkan dalam kerangka kalimat. Ketiga, tambahkanlah tiap unsur pola baru kepada yang terdahulu. Keempat, sesuaikanlah pelajaran yang sulit-sulit dengan kesanggupan para palajar. Inilah arti ”langkah-langkah bertahap” yang menghendaki interpretasi yang lebih berbelit-belit dari pada sesuatu yang diterapkan dalam pelajaran linier berprogram, dimana sesuatu dipecahkan dalam langkah-langkah minimal agar para pelajar yang paling bodoh tidak membuat kesalahan.
a. Gradasi materi Pengajaran mufrodat Pengajaran kosa kata hendaknya mempertimbangkan dari aspek penggunaannya bagi peserta didik, yaitu diawali dengan memberikan materi kosa kata yang banyak digunakan dalam keseharian dan berupa kata dasar. Selanjutnya memberikan materi kata sambung. Hal ini dilakukan agar peserta didik dapat menyusun kalimat sempurna sehingga terus bertambah dan berkembang kemampuannya.
b. Gradasi materi Pengajaran Qowaid (Morfem) Dalam pengajaran Qowaid, baik Qowaid Nahwu maupun Qowaid Sharaf juga harus mempertimbangkan kegunaannya dalam percakapan/keseharian. Dalam pengajaran Qawaid Nahwu misalnya, harus diawali dengan materi tentang kalimat sempurna (Jumlah Mufiidah), namun rincian materi penyajian harus dengan cara mengajarkan tentang isim, fi’il, dan huruf.
c. Gradasi materi pengajaran makna ( دلالة المعانى) Dalam mengajarkan makna kalimat atau kata-kata, seorang guru bahasa Arab hendaknya memulainya dengan memilih kata-kata/kalimat yang paling banyak digunakan/ditemui dalam keseharian meraka. Selanjutnya makna kalimat lugas sebelum makna kalimat yang mengandung arti idiomatic. Dilihat dari teknik materi pengajaran bahasa Arab, tahapan-tahapannya dapat dibedakan sebagai berikut: pertama, pelatihan melalui pendengaran sebelum melalui penglihatan. Kedua, pelatihan lisan/pelafalan sebelum membaca. Ketiga, penugasan kolektif sebelum individu. Langkah-langkah aplikasi.
Rabu, 15 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar